Guru Mursyid Adalah Cermin Seorang
Murid
Selasanan, 5 Februhari 2018, KH. Habibul
Huda menyampaikan mauidhah hasanah dengan tema “Guru Mursyid Adalah Cermin
Seorang Murid”. Mengawali Mauidhahnya KH. Habibul Huda menuturkan bahwa
seseorang dalam menempuh jalan thareqat itu tiada lain hanya untuk memahami
bahwa manusia bukanlah siapa-siapa, tidak punya apa-apa, dan tidak bernilai
apa-apa dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Sehingga jika seseorang yang
menganggap dirinya santri thareqat mempunyai anggapan bahwa dirinya mempunyai
kekuatan dan kelebihan lalu disombongkan, maka sejatinya dia telah gagal dalam
berthareqat.
Kemudian KH. Habibul Huda mengajak para hadirin untuk sejenak
membayangkan dan memahami seperti apa sosok pemimpin umat manusia, yaitu Nabi
Muhammad SAW. Nabi Muhammad adalah Al Insan Al Kamil (manusia sempurna),
Mahluk yang paling tinggi derajatnya di sisi Tuhan, dan merupakan pemimpin
dunia dan akhirat, namun demikian Nabi tetap memposisikan dirinya sebagai
seseorang yang rendah di hadapan Tuhan, bahkan para ulama menyebutkan bahwa
sifat termulia dan tertinggi dari Nabi Muhammad SAW adalah sifat kehambaannya
kepada Tuhan. Allah berfirman dalam Al Qur’an Al Karim, Surat Al Isra’, Ayat 1:
سبحان الذي أسرى بعبده ليلا من
المسجد الحرام إلى المسجد الأقصى الذي باركنا حوله لنريه من آياتنا إنه هو السميع
البصير.
“Maha suci Allah yang telah
memperjalankan hambaNya (Nabi Muhammad SAW) pada malam hari dari Masjidil Haram
ke Masjidil Aqsho, yang telah memberkahi sekelilingnya, agar kami perlihatkan
kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar,
lagi Maha Melihat.”
Dalam Ayat ini Ulama memahami bahwa sifat kehambaan Nabi Muhammad
SAW adalah sifat termulia dari Beliau; sebab seperti yang telah kita ketahui
bersama bahwa Isra’ Mi’raj merupakan salah satu kejadian terpenting dalam
Islam, namun demikian dalam ayat tersebut Allah secara khusus menyebut Nabi
dengan sebutan عبده (hambaNya). Hal ini tiada lain kecuali karena kehambaan adalah
sifat termulia dari Nabi Muhammad SAW. Hal ini seperti yang disampaikan oleh
Imam Fahrur Rozi dalam kitab tafsirnya Mafaatihul Ghaib.
Dari ini santri thareqat harus menginstropeksi diri, sejauh mana
tingkat keberhasilan dalam berthareqat. Apakah benar-benar sudah mengikuti
jejak Rasulullah SAW yang senantiasa merendahkan diri di hadapan Tuhan dan
segenap makhlukNya, atau malah kesombongan yang menjadi karakternya. Hendaknya
seseorang selalu berkaca, melihat seperti apa diri yang sesungguhnya. Ibarat
seseorang yang bercermin di depan kaca untuk mendapatkan seperti apa gambaran
dirinya, begitu pula kita memerlukan kaca cermin untuk melihat kepribadian dan
hakikat diri kita.
Dalam masa kenabian dapat kita pastikan cermin itu terlihat jelas
dalam sosok Nabi, karena seseorang yang hidup dimasa itu dapat dengan mudah
melihat Rasulullah SAW. Rasulullah adalah kaca cermin bagi para Sahabatnya;
karena Rasulullah adalah Mursyidul A’dham dimasa itu. Namun di masa
sekarang siapa yang berhak menjadi cermin untuk hidup dan kepribadian kita?
Jawabannya tiada lain adalah Guru Mursyid kita. Di dalam kitab Al Anwar Al
Qudsiyyah karya Imam Abdul Wahhab As Sya’roni Hal: 148, cetakan الحرمين
disebutkan:
وكان سيدي علي بن وفا رحمه الله يقول: جميع ما تراه فيك من المدد فهو
من فيض أستادك، وجميع ما تراه فيه من النقص فهو صفتك-فإنه مرآة الوجود.
Sayyid ‘Ali bin Wafa berkata: segala pertolongan dan anugrah Tuhan
yang engkau lihat dalam dirimu, itu hakikatnya adalah limpahan kebaikan
dari gurumu, dan segala kekurangan yang engkau lihat dalam diri gurumu, itu
hakikatnya adalah gambaran dari dirimu sendiri- maka sesungguhnya guru adalah
kaca cermin dari wujud seorang murid.
Ratusan tahun yang silam, ada seorang mursyid yang menggunakan
media mimpi dalam membimbing murid-muridnya. Dikisahkan suatu ketika ada
seorang murid bermimpi bertemu dengan Syaikh Abi Yazid, namun si murid tersebut
keheranan melihat sosok Abi Yazid yang berwajah laksana babi, hingga murid ini
terbangun dari tidurnya dengan perasaan bingung. Akhirnya ia memberanikan diri
menemui Syaikh Abi Yazid untuk mengutarakan mimpi yang membuatnya gelisah
tersebut, lalu Syeikh Abi Yazid menjawab “Aku adalah cermin dari wujud
murid, maka engkau dapat melihat wajahmu pada diriku, lalu engkau mengira bahwa
gambaran dari dirimu itu adalah gambaran dari diriku?” dengan penuh
penyesalan si murid menyadari bahwa sungguh benar apa yang diucapkan oleh
gurunya, dia menyadari bahwa dirinya masih jauh dari kebaikan. Mulai sejak itu
dia selalu menginstropeksi dan memperbaiki kepribadian hidupnya, sampai
akhirnya dia dapat bertemu lagi dengan gurunya dalam mimpi dengan gambaran utuh
sebagai manusia. Sebagai catatan: ulama menyebutkan bahwa syetan dan jin tidak
dapat menjelma menjadi Rasulullah SAW dalam mimpi seseorang, begitupun syetan
dan jin tidak dapat menjelma menjadi mursyid yang kamil mukammil dalam
mimpi seorang murid.
Kemudian KH. Habibul Huda kembali mengajak para hadirin untuk
sama-sama merenungkan sepertia apa gambaran sosok Guru Mursyid di dalam hati,
mungkin barangkali banyak dari kita yang merasa aneh dengan Guru Mursyid, atau
bahkan menuduh yang bukan-bukan pada Guru Mursyid, maka sesungguhnya itu bukan
Mursyid yang salah, melainkan diri kita sendirilah yang bermasalah. “Tanya
dan koreksi hati kalian; karena hati tidak pernah bohong. Dalam diri seseorang
ada dua anggota tubuh yang tidak pernah berbohong, yang pertama lidah,
seseorang yang baru menikah misalnya, mulutnya akan dengan mudah memuji masakan
istrinya, walau seperti apapun masakannya, namun lidahnya tidak pernah bohong,
andai masakan itu enak ia rasakan enak, dan andai tidak sedap ia rasakan tidak
sedap. Yang kedua adalah hati, semanis apapun mulut seseorang memuji orang
lain, andai ia tidak menyukai sikapnya hatinya akan jujur berkata tidak suka.
Begitu pula ketika kita ditanya perihal guru Mursyid, mungkin mulut akan menyanjung
setinggi langit, namun sebenarnya apa yang ada dalam hati? Wallahu A’lam kita
sendiri yang tahu.”
Di akhir mauidhahnya KH Habibul Huda menuturkan bahwa keberadaan
Mursyid yang jauh dari jangkauan dan sulit untuk ditemui, itu bukanlah hal yang
buruk bagi kita, bahkan mungkin itu adalah yang terbaik, karena belum tentu
dekat dengan Mursyid berdampak baik untuk kita, bahkan bisa sebaliknya. KH.
Habibul Huda menganalogikan hal ini dengan orang Jawa yang baru berhaji untuk
pertama kali, banyak dari mereka yang menangis haru saat pertama kali
berhadapan langsung dengan Ka’bah yang selama ini menjadi tempat
berkiblat setiap kali melakukan ibadah sholat. Namun belum tentu hal ini dapat
dirasakan oleh orang yang bertempat tinggal di Makkah atau orang yang sering
melihat Ka’bah.
Dalam analogi ini KH. Habibul Huda mengkisahkan peristisa tatkala
ia menjadi Tenaga Musiman (TEMUS) Haji di Tahun 2006, Ia mempunyai teman
kenalan yang hampir setiap hari berada satu mobil dengangnya, dan setiap kali
masuk waktu Sholat ia selalu mengajak temannya tersebut untuk masuk ke Masjidil
Haram guna melakukan sholat berjamaah, namun setiap kali ia mengajak temannya
itu, maka di saat itu pula temannya selalu berkata “ya silahkan kamu duluan”
dan kejadian itu berulang sampai kurang lebih tiga bulan lamanya. Hal ini tentu
saja mengherankan, karena temannya tadi adalah orang muslim Indonesia yang
bekerja disana, dan bertempat di Makkah Al Mukarromah, namun tidak sekalipun ia
memandangi Ka’bah; karena dia selama ini tidak pernah melakukan sholat. Betapa
mengherankan orang yang dekat sekali dengan Ka’bah, namun tidak pernah mau
menghadapnya diwaktu sholat. Mungkin ini dapat menjadi pelajaran bagi kita
bahwa kedekatan seseorang dengan sesuatu yang mulia belum tentu dapat
menjadikannya lebih baik. Wallahu A’lam.
(Intisari Ngaji Selasanan Di PP. Fadllul Wahid Ngangkruk)
Labels:
KALAM MASYAYIKH
Thanks for reading Guru Mursyid Adalah Cermin Seorang Murid. Please share...!
0 Comment for "Guru Mursyid Adalah Cermin Seorang Murid"